Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2010

Laporan Akhir Semester Javas

Setelah merasa sedikit kecewa ga jelas yang ga patut dipelihara pas menerima laporan Detya, maka mengantrilah kami di kelas Javas. Sebenarnya kami sudah siap dengan apapun hasil yang Javas peroleh. Toh dari awal ketika Javas harus memulai SD-nya, kami menyadari keadaan sosial emosi Javas yang masih nyaman dengan pola bermain di RA. Lalu kami mulai diskusi dengan wali kelasnya, yang ternyata hasilnya...tidak bisa tidak...tetap memunculkan kekecewaan di hati. Dengan lebih dari separo nilai mata pelajaran di bawah KKM, kekecewaan bukan muncul dari nilainya. Tapi tentang bagaimana kondisi si Anak ketika ujian itu berlangsung. Sebelumnya sudah diskusi ringan dengan Mba Devi mengenai banyaknya jumlah murid yang ikut remedial di kelas Javas. Beda dengan murid-murid di kelas Rafif (anak Mba Devi) dengan peserta remedial hanya dibawah itungan 10. Dugaan kami bahwa di kelas Javas, ujian harus dibaca sendiri. Walaupun aku tidak memastikan saat itu apakah dalam semua pelajaran kelas Rafif

Laporan Akhir Semester Detya

Hari Sabtu minggu lalu adalah saat pembagian laporan akhir semesteran Detya dan Javas. Datang kesiangan dan melewati waktu yang dijatahkan, namun akhirnya bisa juga diskusi dengan wali kelas. Tetap saja merasa tidak puas, karena ga tega membuat antrian di belakang nunggu terlalu lama. OK, buat Detya tentu saja ga jadi masalah kalau tidak bisa lama-lama. Detya ga pernah bermasalah baik dari segi perilaku maupun prestasi sekolah. Ya..hanya sedikit keluhan tentang gampangnya dia terpengaruh orang lain, tapi itu masih bisa diarahkan ke hal yang positif. Satu hal yang menganggu perasaanku sendiri. Aku berusaha menanamkan, terutama pada diriku sendiri, bahwa prestasi akademik itu adalah nomer sekian dibandingkan perilaku anak-anakku. Tapi ternyata tidak bisa tidak, aku cukup terpengaruh ketika melihat peringkat di raport Detya. Kelas satu dulu dia selalu jadi peringkat pertama dan di kelas dua ini, dua kelas satu dulu digabung jadi satu sehingga wajar jika dia ga dapat peringkat satu

Catatan Harian : Berhenti Menawar

Aku dan beberapa temanku sedang resah...tentang apa sebenarnya kontribusi nyata Government Spending untuk perekonomian nasional. Bangun jalan, jembatan, jalan tol, hal-hal semacam itu rasanya tidak lebih besar daripada sosialisasi, workshop, iklan,konsinyering... dan semua itu juga masih belum menyentuh level bawah masyarakat secara keseluruhan. Maka kami berpikir, apa sih kontribusi dari kami yang bisa langsung menyentuh masyarakat? Satu hal bulat yang kami sepakati, terutama sebagai sesama ibu rumah tangga : belanja di pasar tradisional atau tukang sayur yang lewat..TANPA MENAWAR. Kalau belanja di supermarket bisa kami lakukan tanpa menawar, lalu kenapa ketika ke pasar tradisional harus menawar? Menawar lima ratus-seribu, ga akan ada pengaruhnya terhadap jatah harian belanja kita..maka BERHENTILAH MENAWAR. Bahkan di pedagang kaki lima yang jual kaos kaki, jepit rambut, kerudung kaos dan lain-lain....mintalah harga pas saja dan ga usah ditawar lagi... Menawar 5ribu-10 ribu.. ga a

Catatan Harian : Stay Positive

Waaah..ternyata sungguh susah untuk harus selalu berpikir positif. Jika tidak ada masalah sih, berpikir positif itu sama mudahnya seperti bernafas normal . Tapi jika sedang ada gangguan maka berpikir positif sama susahnya seperti bernafas saat asmaku kambuh… dan asma itu baru hilang jika ventolin telah disemprotkan. Gangguan itu tentu saja dari luar, dan walau sudah dibentengin setebal mungkin, tetap saja angin buruk yang berhembus itu mempengaruhi pikiran untuk memulai berpikir negative. Ada dua kemungkinan akibat adanya hembusan pikiran negative, sedih atau marah dan bisa dua-duanya (wew..tiga kemungkinan ya?..hueheheh) Eniwei…semalem ada hembusan angin buruk yang membuatku susah untuk tetap berpikir positif…dan seharian ini aku menghadapi gangguan pikiran negative yang membuat perasaanku kacau balau. Aku butuh ventolin biar jalan nafasku normal…

Mencoba Adil

Sudah ga terbilang..teman-temanku mempertanyakan keputusan kami untuk meninggalkaan Wisam di Banyuwangi. Kok bisa sih? selalu itu yang ditanyakan. Sudahlah..jangan ditanyakan lagi bagaimana perasaan kami ini. Ini si bungsu yang kita bicarakan...anak paling kecil..masih lucu-lucunya..masih banyak exploring sehingga ga ada yang ga lucu dari semua yang Wisam lakukan. Berat bagi kami sampai akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Wisam untuk sementara di Banyuwangi. Kami sudah sering mengalami momen akhir tahun yang seperti ini, dengan suami yang selalu lembur bahkan menginap di kantor agar semua tanggung jawabnya terselesaikan. Dengan aku yang seringkali harus konsinyering bermalam-malam, maka bisa dipastikan akan berat bagiku untuk langsung pulang ke rumah. Tapi tahun lalu masih ada adikku sehingga aku bisa mengandalkan dia untuk mengurus Wisam di rumah. Walaupun aku sudah usul agar Wisam juga bisa masuk kelompok bermain di Istiqlal sehingga aku tidak meninggalkan Wisam di rumah sendi