Umur VS Pengalaman
Umur menentukan pengalaman
Setiap orang punya waktu (berkembang) sendiri-sendiri
Jangan menilai pengalaman dari umurnya
When you are young, they assume you know nothing
Terakhir dari syair lagu Taylor Swift - Cardigan dari album kejutan Folklore.
Karena syair lagu itu, aku jadi banyak mikir, sebenarnya bagaimana sii..apakah emang jangan berasumsi bahwa kalau masih muda berarti ga pengalaman? Padahal ada pepatah juga semakin berumur, semakin banyak pengalamannya?
Tapi satu yang saat ini aku pegang baik-baik adalah bahwa setiap orang akan punya garis waktu sendiri-sendiri. Tentu saja aku pegang itu karena, pada dasarnya sebagai orang tua, sangat khawatir, apakah bisa mendidik anak-anaknya dengan baik...apakah bisa mengajarkan anaknya mandiri sehingga nantinya aku bisa dengan tenang menyatakan bahwa Alhamdulillah..aku bisa mengantarkan anak-anakku jadi orang yang mandiri dan berguna bagi orang lain.
Selama itu belum tercapai, tentu saja rasa ketar-ketir itu gaakan pernah hilang.
Duluuuu..saat Tengah masih PAUD, sampai dengan SD kelas 3, sebagai orang tua muda, ukuran berhasil itu kan, anak sekolah dengan baik, tidak ada hambatan pelajaran, nilai-nilai juga baik. Jadi ketika Tengah sangat susah mencapai itu, diri ini merasa tidak berhasil..merasa gagal jadi ortu sehingga mengusahakan banyak cara biar nilai-nilai membaik yang malah bikin Tengah jadi tambah tertekan.
Sampai suatu ketika, baca banyak tulisan, tanya banyak teman laki-laki mengenai masa kecil mereka dan merubah ukuran perkembangan bukan hanya dari nilai sekolah, baru merasa lebih tenang dan ikhlas, bahwa setiap individu itu punya masanya sendiri-sendiri. Jadi selanjutnya bisa menghadapi perkembangan Tengah dan Bungsu dengan lebih santai.
Kondisi sekarang dengan Tengah dan Bungsu sudah sama-sama remaja, sudah biasa saja menghadapi hasil sekolah..tapi aku tetap ketat emngontrol perilaku mereka, dan ini menjadi sangat berat dengan kondisi anak ABG yang cenderung pengennya beda sama orang tuanya. Pas Tengah kelas 6 dan sibuk cari sekolah, ada teman yang ngasih saran:Ngadepi anak laki itu lebih gampang, kasih saja info dengan logika yang bisa dia mengerti. Pasti si anak laki akan lebih mudah mengerti.
Sampai sekarang senjataku cuma logika dan alhamdulillah semuanya lebih mudah.
Beda kalau anak cewek, ya ampuuuuun..itu galau dan baper selalu jadi curhatan. Dan susah sekali membuat anak gadis bisa mengerti.
Kemarin abis ngobrol sama Sulung masalah kutipan lagu Taylor itu, kalau menurutku ya memang..kalau kamu masih muda, pengalamanmu akan lebih sedikit. Kamu kan belum pernah patah hati, jadi kamu juga belum tau cara ngadepinnya. Jangankan patah hati, mbedain tertarik suka, sayang dan cinta aja kamu belum tau. Semuanya baru bisa kamu simpulkan kalau nanti sudah menghadapinya.
Jadi ingat, pas Sulung kelas V-VI, aku pengen motong selera baca dia biar langsung aja baca-baca buku berkualitas. Aku kenalkan dengan Rumah Kecil di Padang Rumput, Harry Potter, Lima Sekawan, Trio Detektif, yang memang sudah pantas dibaca anak seumur itu.
Si Sulung sama sekali ga suka, yang dibaca KKPR, terus pas masuk kelas VII baca novel-novel ringan yang kalau aku bilang "ecek-ecek banget". Dan dia ga terima kalau aku bilang gitu...Aku sayang banget, uang sakunya dikumpulin abis-abisan untuk beli novel-novel itu.
Jadi ya karena genre bacaan itu adalah selera, aku ga pernah maksa lagi.
Sampai suatu ketika, Sulung kelas IX-X, dia mulai kenal pengarang-pengarang Indonesia (yang kalau aku cek memang cukup bagus-walau bukan seleraku). Dan dia review ulang bacaan-bacaan dia sebelumnya dan dia bilang kalau dia malu dan menyesal kenapa dulu suka cerita-cerita yang seperti itu. Dia menyesal kenapa dulu tidak mendengarkanku ketika aku minta dia baca yang lebih baik.
Pada dasarnya, seperti yang aku bilang, bahwa tiap individu itu punya masanya sendiri-sendiri. Apapun intervensi kita, dia akan tetap jalan di masanya sendiri.
Sama seperti sekarang ini, aku sama sekali gabisa intervensi biar Sulung begini-dan begitu. Maksimal yang bisa aku lakukan adalah sharing pengalaman dan pendapat KALAU dia nanya sesuatu. Biarkan saja dia mikir dan menjalani waktunya sendiri.
BTW, hal-hal seperti ini masih bikin aku bertanya-tanya dan khawatir, apakah yang aku lakukan sudah benar? Apakah masa depannya jadi terpengaruh dengan apa yang aku lakukan atau TIDAK aku lakukan?
Jadi walaupun merasa lebih tenang dan ikhlas atas apapun yang terjadi sama anak-anakku, tetap tidak mengurangi kekhawatiranku akan masa depan mereka.
Komentar
Posting Komentar