TPA Artha Wildan

Waktu itu bayiku baru berumur 3 bulan (anak pertama) dan sedang bingung cari orang buat ngasuh dia. Ya, setelah cuti bersalin 2 bulan, saya harus mulai kembali lagi ngantor. Dengan terpaksa menelepon ibuku untuk bisa datang menemani anakku di rumah. Pada saat itulah TPA Artha Wildan dibuka, taman penitipan anak untuk ibu bekerja yang ingin merawat sendiri anaknya. Konsep awal TPA Artha Wildhan adalah memfasilitasi ibu bekerja yang ingin memberi full ASI untuk anaknya.

Untuk dapat menyediakan TPA bagi pegawai di tempat kami, perjuangan telah dilakukan jauh sebelumnya. Bahkan semenjak saya masih single, kuisioner dan petisi telah diedarkan agar para petinggi di tempat kami menyadari pentingnya penyediaan TPA buat kami para pegawai perempuan. Walaupun saat itu saya masih single, saya pun turut serta berpartisipasi karena secara pribadi saya sangat mengerti pentingnya ASI untuk bayi, selama enam bulan pertama bahkan akan lebih baik jika ASI bisa diberikan sampai anak umur 2 tahun. Selanjutnya berbekal hasil kuisioner dan petisi tersebut, beberapa orang di tempat kami memperjuangkan pengadaan TPA tersebut kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Hasilnya pada bulan April 2003 TPA Artha Wildan dibuka secara resmi dan menempati ruang khusus di belakang klinik dan masjid di kompleks tempat kami bekerja. Pada waktu pembukaan tersebut, kondisi ruangan sudah sangat bagus walaupun belum tersedia AC sehingga ruangan terasa panas, hanya ada kipas besar di langit-langit tiap ruangan dan cooling fan portable yang tidak menimbulkan efek cool sama sekali.

Namanya saja pembukaan, jadi semua pegawai yang berencana menitipkan anaknya diharap untuk membawa anaknya saat itu untuk menunjukkan bahwa TPA ini benar-benar kami butuhkan. Namun saat itu hanya terkumpul 5 orang yang bersedia menitipkan anaknya ke TPA termasuk saya sendiri. Bagi saya hal ini adalah kebetulan yang sangat membahagiakan, karena seperti yang saya bilang di awal, sangat sulit bagi saya untuk mendapatkan orang yang dapat saya percaya untuk mengasuh anak dan saya pun tidak berniat untuk merepotkan ibu saya untuk terus merawat cucunya di rumah saya (ibu saya tinggal di Jawa Timur). Bagaimanapun ini anak saya, tanggung jawab saya, dan tugas saya sendiri untuk merawat dan membesarkan anak-anak saya. 

Dari acara pembukaan yang dilakukan oleh perkumpulan Dharma Wanita di tempat kami, maka banyak para ibu pejabat yang berkenan menyumbangkan sesuatu untuk TPA kami, misalnya AC, penutup jendela, kulkas, TV dan lain-lain sesuai kebutuhan sebuah TPA. Pada saat pembukaan tersebut, pengasuh anak di dapatkan dari salah satu lembaga pendidikan guru TK di Jalan Pramuka yang sedang melakukan kerja magang. Ada 4 guru pengasuh perempuan dan satu pramubakti yang menyiapkan makanan bagi anak-anak yang dititipkan. Sedangkan ruangan yang tersedia, terdapat 3 ruangan utama saat itu yaitu ruang tidur, ruang makan, ruang belajar dan tempat bermain di halaman TPA (tentu saja ada dapur dan 2 kamar mandi kecil). Fasilitas makan yang didapat yaitu buah/jus pukul 10.00, makan siang pukul 12.00 dan snack sore pukul 15.00. Menu yang disusun pun merupakan rekomendasi dari ahli gizi dari RSCM.

Ternyata saat itu saya hanya sempat menitipkan anak saya selama 3,5 bulan berikutnya karena pada awal Agustus 2003 saya mendapat tugas belajar full time sehingga tidak perlu ke kantor lagi. Dan terpaksalah saya mencari lagi orang untuk mengasuh anak saya dan untungnya saya mendapat seseorang yang cukup bagus dan bisa saya percayai. Saya baru kembali membutuhkan TPA itu empat tahun kemudian, tepatnya ketika anak ketiga saya berumur 2 bulan. Disamping karena saya ingin memberi full ASI paling tidak selama 6 bulan (sesuai program WHO), saya juga tidak punya lagi pengasuh untuk anak-anak saya.

Banyak perubahan yang terjadi di TPA Artha Wildan. Jika saat si sulung masuk, semua anak ada di satu ruang tidur, sekarang ini dipisahkan antara ruang untuk anak (di atas 1 tahun 2 bulan) dan ruang untuk bayi. Untuk bayi disediakan ruang tersendiri yang dulunya merupakan ruang makan. Ruang tidur masih tetap di ruangan yang sama dengan perbedaan tempat tidur atas untuk anak usia peralihan (1 th 2 bln – 2 tahun), sedangkan di bawah untuk anak-anak dengan satu anak mendapat satu kasur kecil portable. Ruang belajar dan tempat bermain masih sama dengan yang dulu sedangkan ruang makan menempati lorong penghubung antar ruangan. Jika acara makan akan dimulai maka meja dan kursi disiapkan dan jika sudah selesai maka meja dan kursi dipinggirkan sehingga lorong tersebut bisa menjadi tempat beraktifitas. Untuk pengasuh juga mengalami perubahan yaitu terdapat 3 pengasuh untuk bayi dan 3 pengasuh untuk anak-anak, sedangkan pramubakti menjadi 3 orang dengan tambahan pekerjaan yaitu membantu mengawasi anak usia peralihan dan melakukan aktifitas bersih-bersih untuk semua anak-anak (artinya bagian cebok jika anak BAK-BAB, membersihkan anak setelah makan menuju tidur siang, dan memandikan di sore hari untuk persiapan pulang). Tiga pengasuh untuk anak-anak masih merupakan orang yang sama pada saat pembukaan dulu, rupanya mereka cukup betah untuk tetap mengasuh anak-anak di tempat kami dan hanya satu orang yang mengundurkan diri tidak lama setelah dulu saya tidak menitipkan anak lagi. Dengan latar belakang pendidikan mereka sebagai guru TK ditambah beberapa kali penugasan untuk capacity building yang berhubungan dengan pendidikan anak usia dini (PAUD) maka walaupun sehari penuh anak-anak berada di tempat penitipan namun banyak aktifitas yang dapat mereka lakukan. Mainan pun juga mainan edukatif yang merupakan bantuan dari Depdiknas untuk PAUD. Jadi menitipkan anak di TPA ini sama saja dengan memasukkan anak ke kelompok bermain dengan biaya yang lebih murah. Mengenai biaya, karena TPA ini diadakan sebagai fasilitas kantor maka bagi pegawai internal biaya bulanan yang ditetapkan tidak setinggi jika ada pegawai luar yang menitipkan anaknya. Subsidi diberikan karena pada waktu pembukaan dulu terdapat dana sisa dari para donatur sehingga pengeluaran tidak tetap diambilkan dari dana tersebut sedangkan pengeluaran rutin bisa diupayakan dari iuran bulanan yang terkumpul.

FYI, di majalah Femina edisi bulan November 2007 (saya tidak tahu minggu ke berapa) ada artikel tentang usaha penitipan anak yang dikelola secara profesional (artinya komersil) dan ketika membandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk daycare tersebut…waduh… jauh sekali dengan yang saya keluarkan untuk TPA Artha Wildhan ini… Saya jadi tambah bersyukur dengan keputusan tempat kerja saya untuk menyediakan TPA ini. Saya juga baca di Kompas.com bahwa UI juga membuka taman pengembangan anak makara pada tanggal 15 Februari kemarin. Dengan fasilitas yaitu klinik pemeriksaan kesehatan, area aktivitas indoor dan outdoor, area tidur anak, dan kaca satu arah untuk mengamati aktivitas anak, biaya yang harus dibayar sebesar Rp500.000,- sebulan untuk dua kali pertemuan dalam seminggu. Jumlah peserta pun dibatasi sebanyak 15 anak per hari. Diharapkan TPAM ini akan menjadi proyek percontohan untuk TPA-TPA yang lain. ...Hmmm...menurut saya perlu digalang kerjasama dengan sponsor sehingga biaya-biaya bisa ditekan dan semua orang tua yang membutuhkan bisa memanfaatkan fasilitas ini.
Sebagian pegawai yang menitipkan anaknya di TPA ini, tidak mempunyai pembantu di rumahnya sehingga anak-anak harus ikut orang tuanya ke kantor. Umumnya kedua orang tua sama-sama bekerja di kantor tersebut, termasuk saya dan suami. Untuk yang punya pembantu/pengasuh di rumah tetap saja ada yang menitipkan anaknya dengan pertimbangan bahwa di TPA aktifitas yang dilakukan lebih terarah dan terjamin keamanannya. Kalau saya, si sulung sudah masuk TK A dan si tengah di kelompok bermain yang ada di masjid besar dekat kantor saya. Sekolah mereka termasuk fullday dan pukul 14.00 sudah selesai sehingga sambil menunggu jam pulang kantor mereka pun saya titipkan di TPA (ada beberapa teman saya yang melakukan hal ini juga). Sedangkan si kecil (saya tidak bisa bilang bahwa dia akan jadi si bungsu) dari pagi sudah saya titipkan di TPA. Walaupun sekarang si kecil sudah tidak ASI lagi (karena saya tinggal ke Manila 3 minggu, pemberian ASI terpaksa berhenti pada saat dia berumur 6,5 bulan) namun dengan berada di TPA dia menjadi lebih aktif dan mandiri, artinya perkembangan fisik dia termasuk cepat dibandingkan teman seumurannya. Ada teman saya yang baru 2 bulan ini menitipkan anaknya, saat masuk anaknya berumur 10 bulan tapi didudukkan saja dia belum bisa. Di rumah diasuh oleh neneknya dan tidak pernah lepas dari gendongan akhirnya malah perkembangan fisiknya lambat. Setelah 2 bulan dititipkan (minus 2 minggu, ga masuk karena sakit) si anak sudah sangat aktif, bisa merangkak walaupun masih lambat dan sedikit njungkel-njungkel dan bisa pegang botol susunya sendiri sehingga kalo minum susu malam hari, ibunya tidak perlu lagi begadang sambil memegang botol. Akhir-akhir ini bahkan sudah bisa mendorong kursi sehingga kedua orang tuanya dengan semangat merekam adegan ini di hpnya. Teman saya ini sungguh bersyukur telah memutuskan untuk menitipkan anaknya di TPA.

Entah sampai kapan saya akan menitipkan anak-anak saya, namun yang pasti dengan adanya TPA ini saya sangat-sangat terbantu dan merasa lega karena saya percaya akan keamanan dan perawatan anak-anak saya.
Untuk para pengurus TPA Artha Wildan, terima kasih atas segala upayanya sehingga bisa menjadi seperti ini.
Untuk para pengasuh terima kasih untuk semua perhatian dan perawatan terhadap anak-anak kami. Juga untuk kesabaran menghadapi semua anak-anak kecil tersebut karena saya sendiri hanya menghadapi 3 anak saja sudah membutuhkan kesabaran yang luar biasa…

Komentar

  1. ijin copy ke blog-ku ya... lagi cari2 info ttg TPA nih

    BalasHapus
  2. Terima kasih sudah mempublish TPA Artha Wildhan. Mohon doanya agar kita memenuhi permintaan temen-temen yang peduli ECEC

    BalasHapus
  3. Baru baca ttg tpa artha wildan di blog ini, panjang juga ya mba tentang sejarah berdirinya tpa artha wildan. Tantangan yang di hadapi sekarang adalah penyebaran penyakit menular yang sering di alami oleh anak anak. Semoga tpa artha wildan segera menindaklanjuti dan berbenah ke arah lebih baik.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Medeking

Seri Rumah Kecil - Laura Ingalls Wilder

Coba Atur Blog