Pilihan Yang Buruk

Jumat kemarin Wisam panas tinggi lagi, padahal dari malam sebelumnya aku ga ikut pulang (ada kerjaan kantor yang perlu dibahas sampai malam). Malam itu aku lebih memilih ngerjain tugasku sebagai pekerja. Aku menyerahkan urusan anak-anak ke suamiku dan persiapan sahur ke adikku dan asistenku. OK....urusan kerja:urusan anak-anak = 1:0

Pagi itu langsung kuminta asistenku ke puskesmas untuk minta surat pengantar periksa darah, dan aku sendiri ngantar Javas cek ke Harapan Kita. Sepulang dari sana langsung ke rumah, maksudku jika ada pengantar periksa darah maka langsung ngantar Wisam ke Bakti Asih, tapi ternyata dokter puskesmas tidak bisa memberi surat pengantar dan menyarankan untuk langsung ke dokter yang menangani.

Wisam masih panas tinggi dan aku bingung mesti ngapain. Semua barang-barangku masih di kantor karena rencanaku setelah meriksain Wisam aku balik lagi ke kantor untuk nerusin kerjaan yang perlu dibahas sampai malam. Mau ke Harapan Kita, dokter yang meriksa Wisam ga praktek hari Jumat, ke Bakti Asih hanya untuk periksa darah, aku males ngadapin dokter-dokter disana (dari 2 dokter yang udah pernah ketemu, dua-duanya ga mutu banget...wis pokoke emoh ke Bakti Asih. Soo..karena ga ada lagi yang bisa kulakukan (atau aku yang terlalu panik sampai ga bisa mikir?) maka aku langsung memutuskan balik ke kantor (taxi juga udah nungguin dari tadi).

OK...tunggu...ketika di dalam taxi aku berpikir...sebenarnya apa sih yang aku lakukan?..apa yang aku cari..?...masak skor mau jadi 2:0 untuk pekerjaan? Bagaimana dengan Wisam yang masih panas tinggi dan ketika kutinggal tadi dia nangis kenceng..? Dan tololnya..aku masih memerlukan waktu lama sampai taxi udah melewati Metro Permata dan hampir ke arah Meruya, dan juga butuh telpon ke suami untuk akhirnya memutuskan bahwa aku harus kembali ke rumah.

Aku benar-benar tidak habis pikir dengan diriku sendiri, masak aku lebih mementingkan pekerjaan dibanding anakku yang sedang sakit? Dalam perjalanan balik ke rumah, aku hanya bisa menyesali pilihanku tadi yang luar biasa buruk...Maafkan Bunda, Wisamku sayang...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Medeking

Seri Rumah Kecil - Laura Ingalls Wilder

Coba Atur Blog