Terima Saja Apa Adanya...Maka Kamu Akan Bahagia...

Tahun depan adalah tahun ketujuh pernikahan kami. Kata orang tahun ketujuh itu tahun gatal-gatalnya...Seven Years Itchy. Pasti ini sudah jadi pengetahuan umum sampai ada istilah khusus seperti itu. Katanya tahun ketujuh itu tahun ego mulai sangat dominan sehingga kalau ada masalah sedikit aja bisa bikin pasangan memutuskan untuk berpisah.

Naah, kalau aku sendiri tidak memandang tujuh tahun perkawinanku itu seperti istilah itu. Aku memandang justru di tahun ketujuh itulah seluruh egoku padam dan berganti menjadi kepasrahan dan penerimaan. FYI, aku hanya kenal 4 bulan dengan suamiku ketika pada bulan keempatnya kami menikah. Tentu saja 4 bulan itu ga ada artinya dalam hal pengenalan diri antara dua individu yang sebelumnya ga kenal sama sekali. Kami memutuskan menikah karena sama-sama berniat baik...lalu kenapa harus menunda lagi demi alasan klise "saling mengenal dahulu". Ntar aja deh pas nikah aja saling kenalnya.

Maka tahun pertama pernikahan kami seperti orang yang baru pacaran dan kebetulan waktu itu aku yang lebih banyak berusaha menyesuaikan diri dengan kemauan suamiku. Suamiku ingin istri itu yang begini, begitu dan akupun melakukan yang begini, begitu. Rasa-rasanya aku sudah berusaha keras kok masih saja dianggap kurang sampai puncaknya ketika anak pertamaku lahir bulan Januari 2003. Pemberontakanku mulai muncul karena dari semua buku-buku, majalah dan artikel-artikel yang kubaca semuanya tentang kesetaraan gender. Bahwa yang penting bagi suami istri adalah ada rasa saling, saling memberi dan menerima. Juga bahwa jaman sekarang ini bukan lagi istri yang melayani suami atau istilahnya konco wingking tapi sebagai partner hidup yang sejajar. Jika istri masak maka suami yang cuci piring, jika istri menyusui anak suami yang gantiin popoknya...Pokoknya yang begitulah...kesetaraan itulah...

Namun tetap saja semua hal tentang kesetaraan itu cuma ada di buku. Suamiku seperti halnya laki-laki lain yang dibesarkan dalam kultur Jawa, masih menganggap bahwa suami sebagai kepala keluarga itu posisinya lebih tinggi..ga setara. memang sih, karena semua saudara-saudaranya laki-laki maka dia sudah terbiasa dengan pekerjaan domestik. Jadi suamiku ga keberatan harus mencuci baju sedangkan aku yang setrika. Harus nyapu rumah dan ngepel sedangkan aku masak dan cuci piring. Pokoknya pekerjaan domestik ga masalah lah..

Yang menjadi masalah adalah suamiku itu perfeksionis dan detil oriented. Bisa dibayangkan kan seorang perfeksionis itu seperti apa, ditambah lagi detil oriented. Maka rasanya masuk akal jika semakin lama aku semakin puyeng ngadepin suamiku yang demanding. Waktu aku masih kuliah S2 dulu, ada 3 cewek yang sekolah bareng sehingga kami sering diskusi berbagai hal, biasalah Girls talk. Termasuk diskusi tentang suami masing-masing dan cara kami mengelola keluarga. Satu temanku hampir sama masalahnya denganku tapi dia sudah duluan menikah dan dia bilang sudah dalam tahap menerima suaminya apa adanya, ya begitu itulah suaminya jadi ga usah dipikir lagi sehingga ga perlu sakit hati. Waktu itu aku masih dalam tahap menginginkan kesetaraan itu sehingga aku berpikir bahwa hidup itu sekali lalu jika tidak bahagia buat apa bersusah-susah. Aku perempuan mandiri yang dapat mencukupi hidupku sendiri bahkan dengan dua anak bersamaku. Bener-bener pikiranku waktu itu lebih untuk kebahagiaanku sendiri.

Sampai kemudian lahir anak ketigaku tahun 2007. Hmmmm...sudah tiga anak...apakah aku masih mau selfish hanya mementingkan kebahagiaanku sendiri.. Aku mulai berusaha memahami bahwa inilah suamiku apa adanya..dan mencoba berpikir seperti temanku itu. Tapi kejadian di akhir tahun 2007 membuatku hampir bulat untuk menyerah. Aku bahkan menelepon istri kakak iparku dan orang tuaku sambil menangis menceritakan permasalahanku. Sampai beberapa waktu pikiranku masih buntu sampai tiba-tiba menjelang perayaan 6 tahun pernikahan kami, aku mengerti apa yang dibicarakan temanku itu tentang menerima suami apa adanya. Jika merasa jengkel tentu saja masih wajar..tapi ya itu...that's it..begitu aja...ga ada perasaan ga terima. Hal itu malah membuat pikiran sendiri menjadi lebih lapang dan ga ada sakit hati. Aku benar-benar takjub dengan taktik menerima apa adanya ini. Aku ga inget apa pemicunya sehingga tiba-tiba saja aku bisa melakukan itu. Ga ada lagi prinsip kesetaraan dan rasa "saling" itu, yang ada hanyalah penerimaan. Dan bahkan aku ga peduli apakah suamiku menerima aku apa adanya juga..yang penting aku melakukan yang terbaik yang aku bisa untuk melakukan semua permintaan suamiku. Kalau masih saja dianggap ga sempurna..ya aku coba lagi sesuai kemauannya...kalau masih saja salah..ya udah gimana lagi..itulah suamiku..pendamping hidupku...ayah dari anak-anakku.

OK, semenjak itu jika ada temenku yang curhat tentang bagaimana jengkelnya dia ketika ada perilaku suaminya yang tidak berkenan maka saranku hanya satu: Terima Saja Suamimu Apa Adanya...Maka Kamu Akan Bahagia...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Medeking

Seri Rumah Kecil - Laura Ingalls Wilder

Coba Atur Blog