Melayat

OK, terus terang aku tidak banyak bersosialisasi dengan tetangga di kompleks. Yaaa...walaupun aku ikut arisan bulanan, tetap saja ga pernah sosialisasi yang gayeng gitu. Seperti biasa, alasannya karena pagi-pagi sekali kami sudah keluar rumah dan baru malam ketika hampir isya, lewat isya..atau pun jauuuh selepas isya. Sabtu minggu pun habis untuk beraktifitas dengan anak-anak, entah di rumah saja ataupun keluar rumah.

Tapi, tetep doong...kalau ada yang meninggal di dekat-dekat rumahku, aku selalu ikut melayat karena kupikir..teman saat suka itu sudah biasa tapi penghiburan di kala duka itu adalah wajib. Jadi aku selalu pergi melayat pada hari H-nya, jadi pada saat persiapan segala sesuatu menuju jenazah dikuburkan. Tentu saja pada saat seperti itu, tidak banyak yang bisa kita bicarakan dengan keluarga almarhum, selain ikut membantu prosesi atau paling engga ikut berdoa bersama. Tidak ada diskusi sama sekali. Jadi begitulah selalu yang aku lakukan ketika melayat pada hari H.

Maka ketika harus melayat tidak pada hari H, aku jadi bingung, kira-kira apa ya yang patut dan tidak untuk ditanyakan...diobrolkan bersama? Pada saat seperti itu, tentu keluarga sudah cukup tenang sehingga bisa mengobrol segala macam. Dua kali aku mengalami situasi seperti itu. Saat pertama kali, kami menghindari topik membicarakan almarhum karena kawatir akan membangkitkan kesedihan, kecuali sedikit menanyakan proses meninggalnya dan penyebabnya. Selanjutnya mencoba untuk tidak menyinggung lagi tentang almarhum. Tanya tentang keluarga, anak, cucu, saudara, pekerjaan dan sebagainya.

Tapi...berdasarkan pengalaman pertama itu, rupanya keluarga yang ditinggalkan, terutama istri atau suami, lebih suka untuk mengenang almarhum. Bagaimana dulu pertama kenalan, menikah, punya anak dan sebagainya. Intinya, mengenang segala rupa yang detil tentang almarhum, menunjukkan foto kenangan..tertawa bersama jika ada kenangan yang berkesan. Hal-hal seperti itu.

Lalu kemarin aku juga pergi melayat ke rumah salah seorang teman yang Bapaknya meninggal. Dari awal aku bingung, apa ya yang nanti kita bicarakan, karena aku tidak terlalu dekat dengan teman itu karena perbedaan umur yang lemayan. Beda generasi lah. Tapi mengingat kita pergi berlima, jadi aku mengandalkan teman-teman yang lain untuk memulai pembicaraan.

Ternyata oh ternyata, semuanya juga pada bingung untuk bicara apa. Kalau dengan si teman sendiri siy, kami masih bisa berdiskusi...tapi bagaimana dengan ibunya? ga mungkin kami menghibur beliau ala menghibur teman kami tadi. Akhirnya menit-menit pertama kami lalui dengan canggung. Dan kemudian kami malah membicarakan asal kami, asal ibu itu..lalu pelan-pelan menyentuh tentang almarhum. Bagaimana meninggalnya, bagaimana kesehatannya sebelum itu. Lalu aku ingat pengalamanku dulu bahwa keluarga cenderung mengingat-ingat tentang almarhum. Jadi pembicaraanpun mulai mengalir, sampai akhirnya sang ibu mengajak kami melihat kamar almarhum dirawat dan lokasi jatuhnya almarhum sehingga jadi koma selama 8 bulan sampai akhirnya meninggal.

Di awal kami sempat menolak untuk melihat karena kami ga tega. Tapi pada akhirnya kami sempatkan melihat dengan harapan bahwa sang ibu bisa berbagi perasaannya dengan kami. Dan rupanya, sang ibu juga memperlihatkan kelegaan ketika akhirnya kami mau melihat lokasi kejadian.

Dari dua kali melayat bukan pada hari H ini aku bisa belajar bahwa kita bisa berkontribusi mengurangi perasaan kehilangan keluarga justru dengan membicarakan segala rupa tentang almarhum. Tentu saja kenangan-kenangan yang menyenangkan sehingga kesedihan keluarga yang ditinggalkan sedikit terobati.

Pada akhirnya, ternyata bersosialisai itu tidak bisa dipelajari, tapi mesti dilaksanakan untuk kemudian dijadikan pengalaman. Dan aku merasa malu karena pengalamanku sungguh-sungguh sangat sedikit...


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Medeking

Seri Rumah Kecil - Laura Ingalls Wilder

Coba Atur Blog