Cabut Gigi

Dulu, waktu masih kecil, acara cabut gigi adalah acara uji nyali dengan Bapakku. Aku tau bahwa gigi yang goyang harus dicabut kalau tidak mau tumbuh gigi baru di belakangnya alias gingsul. Walau waktu itu banyak yang bilang bahwa gingsul itu manis (apanya?), aku tetap menganggap bahwa gingsul itu jelek dan jorok. Maka acara cabut gigi itu menjadi acara yang ribet penuh tarik ulur dengan Bapakku. Gimana ga tarik ulur, wong nyabutnya pakai benang yang diikat di gigi untuk kemudian di cabut.

Benang sudah terpasang dengan rapi, tapi karena takut sakit maka masih lari-lari menolak dicabut. Demikian sampai akhirnya punya nyali untuk duduk manis dan benang ditarik. Sebenarnya rasanya tidak terlalu sakit, tapi perasaan ngeri itu selalu saja muncul ketika benang terpasang. Pada akhirnya, hanya satu kali saja aku ke dokter gigi untuk cabut gigi, karena si gigi sudah terlanjur mengeras kembali, sedangkan gigi dewasa sudah muncul di belakangnya. Tidak berani memaksa pakai benang, karena yang bermasalah ini gigi atas, yang berdasar teori sangat berhubungan dengan syaraf-syaraf halus di otak.

Nah, Detya juga mulai tumbuh gigi dewasanya. Dari tujuh gigi yang sudah tanggal, enam yang pertama selalu ke dokter gigi di klinik kantor, jadi ga ada acara tarik ulur benang seperti jamanku dulu. Tinggal merayu Detya untuk ke dokter dengan iming-iming beli jus setelah cabut gigi, maka silahkan Bu Dokter yang mencabutnya. Aku sendiri ga punya nyali untuk mencabut gigi Detya sendiri.

Sudah seminggu kemarin, gigi taring Detya yang atas goyang dan tampak 'njengil'...apa ya bahasa Indonesia-nya?...tonggos? tapi cuma 1 gigi yang goyang itu. Tapi karena belum terlalu lunak, maka aku belum mengajaknya ke klinik. Minggu kemarin, sepulang PERSADA (perkemahan sabtu ahad), gigi Detya itu tampak semakin 'njengil' sehingga Ayahnya merayu untuk mencabut gigi itu sendiri saja, ga usah ke dokter. Dibujuk-bujuk dengan es krim, Detya malah berurai air mata sampai akhirnya tertidur di mobil sepanjang perjalanan pulang.

Sampai di rumah, sambil menunggu air panas untuk mandi berendam (karena pagi itu dia ga mandi, sedangkan sabtu sore hanya mandi seadanya karena dia jijik dengan kondisi kamar mandi di perkemahan), ayahnya merayu untuk merasakan saja seberapa goyang gigi Detya. Ternyata...sambil merasakan goyangan gigi, rupanya Ayah langsung mencabut si gigi itu tanpa aba-aba. Jadinya Detya langsung menjerit dan meledak tangisnya...dibalik isakan tangis itu Detya berkata:
"Huwaaaa....Ayah....rasanya ga gitu sakit...tapi aku kaget banget...Ayah ga bilang-bilang.." dan Ayahpun terbahak-bahak...

Selepas mandi, Detya ga henti-hentinya menagih es krim yang kujanjikan tadi. Giliran aku yang ga tahan rengekan Detya minta beli es krim. Bahkan rasa capek sepulang Persada ga dihiraukannya demi es krim itu..

Next time...ga usah janjiin apa-apa untuk acara cabut gigi. Kalau mau memberi reward, beri aja tanpa menjanjikan terlebih dahulu....susah bener ketika ditagih-tagih seperti itu.

Komentar

  1. Persada ...?
    Wah ini sama-sama Kakak Rahmanya bu Devi ya ...

    Pengalaman Kemah memang tiada duanya ...

    Tapi ya gitu ...
    Pas sampe rumah ... bawanya pengen berendam seharian ... (hehehe)

    Salam saya Bu ...

    Mengenai Gigi ... PASS !!!
    Saya paling takut ke Dokter Gigi (hehehe)
    Denger kata Dokter gigi saja sudah ngilu saya
    .

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Medeking

Seri Rumah Kecil - Laura Ingalls Wilder

Coba Atur Blog