Evaluasi Akhir Tahun Detya

Ketika mengambil hasil evaluasi akhir tahun Detya hari Jumat kemarin, aku tidak terlalu memikirkan masalah nilainya. Setelah melewati 2 kali UTS dan 1 kali UAS lalu, aku sudah pasrah dengan pola belajar Detya di UAS kali ini.

Aku dulu bercita-cita bisa duduk bersama dengan anak-anakku setiap malam menemani mereka belajar apapun. Ternyata yang bisa aku lakukan adalah berbincang bersama mereka sepanjang perjalanan berangkat dan pulang kerja. Juga bercerita atau membacakan cerita ketika mau tidur. Mungkin juga kondisi untuk belajar seperti itu belum muncul di kelas satu karena anak kelas satu masih belum dapat PR pelajaran. Jadi ketika Detya ujian, aku juga tidak bisa membuat dia untuk mengulang pelajaran yang akan diujikan.

Dulu aku sering cemas, ketika Detya sama sekali ga belajar untuk ujian dan ketika kutanya tentang bagaimana ujian hari ini jawabannya selalu saja "aku lupa". Tapi ketika hasil ujian keluar dan semua nilainya baik-baik saja maka kecemasanku itu perlahan luntur dan ketika UAS kemarin, aku sama sekali pasrah dengan pola belajar Detya.

Maka ketika ambil raport kemarin, aku hanya bertanya bagaimana sih Detya ketika belajar di kelas karena dia selalu beralasan ketika ku ajak belajar di rumah. Gurunya meyakinkan aku bahwa Detya sangat fokus ketika di kelas dan sama sekali ga terpengaruh dengan perilaku teman-temannya. Guru hanya perlu mengingatkan sekali jika Detya belum melakukan sesuatu.

Aku juga berdiskusi tentang betapa masih sensitifnya Detya dalam menanggapi komentar teman-temannya. Gurunya menceritakan bahwa memang Detya gampang tersentuh atas komentar teman-temannya namun selalu bisa menyelesaikannya saat itu juga setelah diberi tawaran 'mau diselesaikan sekarang atau nanti?'. Mungkin karena dia cerita kepadaku saat sudah tidak bisa menyelesaikan langsung sehingga seakan-akan bagiku dia jadi teramat sensitif.

Satu hal yang menjadi poin bagi gurunya adalah untuk anak-anak seumur Detya sangat perlu pengulangan-pengulangan sehingga kemudian bisa menjadi perilaku dia. Bagi guru, bedanya dengan mengajar anak kelas 5-6 adalah anak besar sangat gampang membuat jengkel guru, tapi kalau anak kelas 1 bikin capek karena pengulangan-pengulangan itu, tapi lebih menyenangkan karena mereka melakukan sesuatu hanya karena tidak tau.

Jadi untuk mengatasi moody-nya Detya ya harus berulang-ulang memberikan 'Pesan Saya' dan 'Mendengar Aktif' karena ya hanya itu yang bisa dilakukan untuk membangun kepercayaan dirinya.

Satu lagi yang terpikirkan ketika menghadapi tingginya empati Detya dengan kurang mandirinya Javas. Pengalaman selama ini, Javas jadi kurang mandiri karena Detya selalu berusaha membantu Javas, sehingga kami berpikir untuk memisah Javas dan Detya di sekolah yang berbeda. Mengingat Detya yang lebih matang sosial emosinya, maka dia yang akan kami pindahkan ke sekolah lain. Tapi itu masih wacana dan kami perlu melihat bagaimana perkembangan setahun ini. Jika mereka bisa menjalankan kehidupannya secara terpisah (maksudnya Detya ga banyak membantu Javas) maka bisa jadi mereka berdua tetap sekolah di Istiqlal.

Yaaaah...inilah praktek nyata bahwa tiap anak adalah pribadi yang unik...jadi treatment untuk masing-masing anak harus sesuai dengan karakter masing-masing...ga bisa disamaratakan..

hmmmm...aku yang baru menangani 3 anak saja sudah sering kalang kabut begini...bagaimana dengan para guru ya...mereka benar-benar harus punya persediaan sabar yang ga terbatas....


Komentar

  1. Setuju Ibu ...
    Setiap anak punya style yang beda-beda
    punya sifat yang beda-beda ...

    dan celakanya kita sebagai orang tua ... hanya ada learning by doing ...
    karena tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua yang baik ...

    Salam saya Ibu ..
    Sukses selalu untuk Detya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Medeking

Seri Rumah Kecil - Laura Ingalls Wilder

Coba Atur Blog