Menjadi Pemimpin

Hasil tes psikologi tahun lalu ketika training di Magelang menunjukkan kalau aku ga ada kompetensi untuk jadi pemimpin. Beberapa bulan lalu juga kembali ada assessment dari kantorku dan rasa-rasanya jawaban-jawabanku masih sama saja sehingga hasilnya bisa jadi juga menunjukkan kalau aku ga ada kompetensi untuk jadi pemimpin.

Bisa kumaklumi sih, karena memang itu juga yang aku rasakan. Aku ga berani mengatur sebuah tim agar berjalan dengan baik dengan pembagian pekerjaan yang adil. Aku juga kurang bisa meyakinkan diriku sendiri bahwa orang lain juga akan mengerjakan tugasnya dengan baik sehingga seringkali aku kerjakan semuanya sampai akhirnya badanku rontok sendiri. Aku juga sangat ga berani menghadapi konflik ketika ada beda pendapat dalam tim. Jadi rasanya bisa dipastikan akan susah mengharapkan aku akan bisa jadi pemimpin yang baik.

OK, seharusnya aku mulai belajar menghilangkan semua perasaan negatif tentang menjadi seorang pemimpin. Aku seharusnya banyak belajar dan mengamati bagaimana bos-bos di sekitarku menjalankan kepemimpinannya. Tapi aku belum menemukan contoh yang bisa kujadikan acuan. Bos yang terdekat di sekitarku, yang kuanggap terbaik dari yang lainnya saja, masih kurasakan kurang tegas. Beliau seorang penengah yang ulung, dalam setiap forum beliau bisa mengakomodasi semua kepentingan tanpa menjatuhkan kepentingan yang lain. Hanya saja, karena selalu mengutamakan jalan tengah, pada akhirnya ga ada keputusan final yang diputuskan. Semua serba tengah-tengah, masalah jadi ga terselesaikan secara tuntas. Selalu saja ada pending matters.

Kalau selalu di tengah-tengah gitu, jalan aman yang selalu ditempuh. Ga ada breaktrough yang ditawarkan. Ketika sudah begitu, aku jadi gemes sendiri karena bagaimanapun aku ga punya wewenang lebih untuk memunculkan ideku. Taaappiiii...ketika selang beberapa waktu aku memikirkan lagi ideku itu ternyata memang masih banyak bolongnya dan memang hanya untuk antisipasi sesaat saja.

Dulu, ketika aku baru pertama bekerja dulu, aku bekerja di bawah seseorang yang aku anggap ga pernah mau mengambil tanggung jawab ketika terjadi kesalahan. Aku selalu berpikir bahwa orang ini bisanya hanya cari kambing (hitam) saja. Ga mau mengambil tanggung jawab penuh. Bukankan beliau yang membubuhkan paraf dan tanda tangannya, jadi sudah sewajarnya bertanggung jawab jika ada masalah. Maka sejak itu aku berjanji, bahwa jika suatu ketika aku berada dalam posisi yang sama dengannya, aku ga akan mengorbankan anak buahku.

Momen itu pun ternyata terjadi, suatu ketika stafku menghilangkan satu surat teramat penting. Tentu saja aku jengkel setengah mati sama stafku itu, mana waktu itu aku masih junior di tempatku itu. Setelah berusaha tetap ga ketemu, aku berusaha cari solusi untuk menggantikan surat yang hilang itu dan langsung menghadap Bosku dan mengambil semua tanggung jawab kesalahan itu pada diriku sendiri, aku ga menyebut-nyebut tentang stafku itu. Yang membuatku salut adalah Bosku itu sama sekali ga memarahi, hanya menanyakan apa yang bisa kita lakukan, dan aku memang sudah punya solusi. Beberapa bulan kemudian, surat itu ketemu dan tentu saja aku lapor pada Bosku. Saat itulah beliau mengingatkanku panjang lebar tentang bertanggungjawab atas pekerjaanku. Tentu saja saat itu aku sudah ga sedih lagi, jadi nasehat beliau aku camkan dengan baik tanpa ada airmata yang terurai. Bisa dibayangkan kalau saat pertama lapor dulu, beliau langsung bereaksi seperti itu, bisa berurai air mata seharian aku.

Hadoh..jadi panjang lebar begini. Intinya karena aku masih belum menemukan contoh langsung pemimpin yang baik yang bisa kujadikan acuan, aku masih saja belum punya kepercayaan diri untuk jadi pemimpin.

Saat ini, aku dan teman-teman di kantornya sedang merencanakan acara santai bersama. Dari awal aku hanya jadi pendukung buat temanku yang berinisiatif untuk mengerjakan tugas ini. Dari awal, karena temenku itu harus training dalam waktu yang lama keluar kota, maka akulah yang melakukan pencarian informasi awal. Nah, ketika temanku itu balik, maka secara resmi tugas penyiapan itu dimulai dan pembagian pekerjaan dilakukan. Daaan ternyata kekawatiranku untuk jadi pemimpin itu muncul disini. Baru persiapan awal saja, bentrokan-bentrokan ide antara koordinator kegiatan mulai muncul. Melihat saja, membuatku keder. Mana bisa aku jadi leader dan memutuskan satu keputusan yang artinya mengabaikan ide yang lainnya. Belum lagi menghadapi orang yang ngambek karena idenya diabaikan...huwaaaaa......

Biarin deh.....aku selamanya jadi follower....daripada mesti bentrok dengan orang lain....

Saat-saat seperti ini aku jadi salut dengan Bosku itu yang selalu mengutamakan jalan tengah....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Medeking

Seri Rumah Kecil - Laura Ingalls Wilder

Coba Atur Blog