Disparitas

Suatu ketika, saat assessment terakhir di unit kerjaku, aku merasa tersentak ketika diminta mengisi biodata pribadi bagian saudara kandung. Disitu aku diharuskan mengisi data detil orangtua dan saudara kandungku. Nama, tanggal lahir dan pendidikan keluargaku termasuk aku sendiri.

OK, sebelumnya aku memang menyadari bahwa banyak perbedaanku dengan saudara-saudara kandungku yang lain. Tapi aku tidak pernah sekaget ini ketika membaca ulang formulir yang sudah kuisi. Aku kaget melihat betapa berbedanya tingkat pendidikanku dengan saudaraku yang lain. Kakakku lulus SMA, adikku langsung, SMP saja ga lulus sehingga harus kutuliskan SD. Adikku setelahnya ga mau nerusin lagi kuliahnya jadi harus kutulis SMA dan adikku yang bungsu kutulis D2 karena baru tahun ini melanjutkan ke S1.

Sedangkan aku sendiri, alhamdulillah dapat beasiswa S2. Dari perbedaan pendidikan itu saja dapat terlihat betapa berbedanya gaya hidup kami.

Aku terpekur cukup lama membaca riwayat pendidikan itu. Aku jadi berpikir bagaimana perasaan saudara-saudaraku terhadap aku.

Bagaimana perasaan kakaku dulu ketika kami sama-sama lulus di tahun yang sama (kakakku harus mengulang kelas 2 SMAnya) dengan aku langsung melanjutkan kuliah sedangkan dia cukup di rumah saja. Bagaimanapun dia anak laki-laki..yang mestinya berharap dia yang mendapat kesempatan kuliah lebih dahulu. Dia juga pernah berharap jadi PNS dengan koneksi saudaraku yang dijamin pasti bisa dan sempat bertahun-tahun mengabdi kepada saudaraku itu, tapi kesempatan itu hilang begitu saja karena kesalahanku (salah bercanda yang ditanggapi serius oleh saudaraku itu- aku baru tau akhir2 ini saja bahwa candaanku dululah yang menghalangi kesempatan kakakku utk mendapat koneksi itu). Akhirnya kakaku ini sekarang bekerja sebagai sopir truk pengangkut di perusahaan eksportir udang di daerahku yang trayeknya sampai Sumbawa, Lampung dan Banjarmasin.

Adikku langsung, anak ketiga yang disebut medeking dan mengalami semua fenomenanya..akhirnya menyerah sekolah saat kelas tiga SMP. Saat itu aku sempat berpikir bahwa inilah kemampuan maksimal adikku dan kelak jika aku mampu, akulah yang akan bertanggungjawab atas hidupnya. Nyatanya sekarang ini dia punya satu anak dengan pekerjaan serabutan yang kadang-kadang bisa dapat 10-15 ribu sehari, namun seringkali ga ada pekerjaan sama sekali....dan ternyata aku juga ga sanggup berbuat apa-apa untuk adikku itu...aku ga bisa menanggung hidupnya walaupun aku tetap sangat ingin melakukannya. Aku tidak sendiri dan semua keputusanku harus atas persetujuan suamiku.

Adikku yang keempat....well aku sudah pernah menceritakannya. Setelah penyerahannya atas kuliah, dia merantau ke Bali dan bekerja jadi koki. Sudah berpindah di tiga restoran dan tiga-tiganya spesialis makanan italia. Jadi lebaran kemaren kami menikmati spageti buatannya yang memang delicioso..(bukan yang buatanku pake boloignese instant hehe..). Dan lebaran kemaren, dia berubah bentuk menjadi gemuk besar dan bikin aku harus mengingat-ingat..ini adikku atau sepupuku yang lain ya.. Hmmm..efek dari kewajiban mencicipi masakannya...dia bilang. Sepertinya dia cukup enjoy dengan hidupnya....tapi apakah itu semua cukup jika dia harus membina keluarga sendiri kelak?

Adik bungsuku...ok..sepertinya dia yang kuharapkan sedikit sekali perbedaannya denganku..

OK..aku ngerti bahwa jalan hidup masing-masing orang itu beda..bahkan di daerahku sendiri ada istilah..."telor ayam dari satu induk saja hasilnya bisa beda..apalagi kita..."...

Tapi jadinya semenjak kuliah dan akhirnya kerja, aku seperti berjarak dengan semua saudaraku..aku seringkali ga bisa menerima jalan pikiran mereka (walau tidak pernah aku tunjukkan)....apalagi bicara yang enak sama ipar-iparku. Ga pernah bisa..
Mereka sungkan sama aku..akupun bingung mo ngomongin apa sama mereka... Mau ngomongin anak-anak, takut dikira aku sok tau dan sok ngatur. Padahal aku sedih sekali melihat ponakanku yang umurnya baru lima udah direbonding rambutnya. Sedih banget ngeliat ponakanku itu sepertinya tidak terurus. Serba salah...walau sedapat mungkin kucoba untuk bicara..tapi tetap saja hasil akhir mereka sendiri yang nentuin.

Ketika berdiskusi apa saja dengan kakaku, aku harus menahan diri sekuat tenaga untuk hanya mendengarkan saja tanpa memberi komentar atau penilaian sama sekali. Betapa banyak hal yang tidak kusetujui dari cara bersikapnya..tapi..hei...aku ini adiknya...seharusnya aku menerima saudara-saudaraku apa adanya..tidak mengkritik mereka. Jika aku begini, bukan berarti mereka juga harus begini, dan sebaliknya.

Apalagi adikku langsung, walaupun sayangku padanya ga usah diragukan lagi, aku seringkali jengkel dengan cara berpikirnya yang dari dulu tidak sesuai dengan kemampuannya... Tapi itulah adikku..yang sekarang sudah punyak anak satu.

Jadi karena aku hanya bertemu mereka sesekali saja, maka akulah yang harus lebih banyak mengerti mereka..menyesuaikan diri dengan apa adanya mereka... semuanya berpulang lagi pada menerima apa adanya...

I love them all....very much...seberapapun besarnya perbedaan kami..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Medeking

Seri Rumah Kecil - Laura Ingalls Wilder

Coba Atur Blog