Ketakutan dan Jaminan Perlindungan

Minggu lalu dua orang yang kukenal mengalami musibah. Satu meninggal setelah dua hari koma karena gagal ginjal dan sudah setahun ini menjalani cuci darah seminggu tiga kali. Satunya sampai saat ini masih koma setelah mengalami kecelakaan motor di daerah Senen.

Setiap kali mendengar kabar seseorang yang masih dalam usia produktif (seumurku atau suamiku) mengalami musibah, dengan tanggungan anak-anak yang masih dalam usia pendidikan dasar, aku menjadi merasa miris dan rasa hatiku seperti teriris-iris. Lalu insting utamaku yang otomatis terpikir adalah asuransi, rasanya aku jadi ingin menambah premi asuransiku.

Jaman dulu jika orangtua meninggal sedang anak-anak masih harus sekolah, maka jalan yang paling mungkin adalah menitipkan anak-anak itu ke saudara-saudaranya yang lebih mampu. Harapannya paling engga bisa melanjutkan sekolah. Tapi jika saudara itu sendiri masih punya anak-anak yang juga sekolah, maka sampai berapa tinggi si akhirnya anak yang dititipkan itu bisa disekolahkan?

Dulu, pada awal menikah dan punya anak, aku sama sekali tidak berminat mengikuti asuransi tertentu. Suamiku si sudah punya asuransi saat kami belum menikah, jadi kalau sudah ada seperti itu ya tinggal melanjutkan saja iuran preminya. Untuk anak-anak, aku lebih memilih cara menabung sendiri rutin setiap bulan. Jika sudah terkumpul maka aku belikan satu aset khusus atau beli ORI atau reksa dana dan mengelolanya sendiri. Intinya waktu itu aku berpikir bahwa uang tabungan itu akan lebih mengnhasilkan jika kukelola sendiri.

Sampai suatu ketika sekitar pertengahan 2007, sahabat baikku saat kuliah sengaja berkunjung ke rumah saat aku masih cuti melahirkan Wisam dan menjelaskan tentang satu produk asuransi tertentu. Saat itulah aku baru terpesona dengan mekanisme asuransi yang ditawarkan. Mekanisme itu memenuhi semua aspek yang aku inginkan dari menabung untuk pendidikan anak (yang sudah kulakukan semenjak Detya lahir). Disamping ada aspek perlindungan, juga ada aspek investasi disitu. Setelah berdiskusi dengan suami, akhirnya kami sepakat menggunakan asuransi itu untuk anak-anakku (Javas dan Wisam, Detya sudah ada asuransi dengan skema yang mirip tapi perusahaan asuransi yang lain).

Dengan asuransi ini aku sedikit lebih tenang karena jika ada apa-apa dengan kami, asuransi ini tetap melanjutkan pembayaran premi sampai jangka waktu tertentu. Walaupun pada akhirnya kami harus menyisihkan cukup banyak rupiah untuk membayar premi asuransi, aku tidak mengeluh karena aku mendapat ketenangan. Kalau ada apa-apa dengan kami, anak-anak tidak akan terlantar dan harus dititip-titipkan ke orang lain.

Ah..pagi ini aku mempertanyakan kepada suamiku apakah wajar pikiran takutku yang selalu saja ingin nambah asuransi saat ada rekan yang meninggal? Apakah aku berlebihan sehingga jadi paranoid? Aku sadar bahwa umur itu Allah yang punya, dan bukan itu yang jadi sumber paranoidku.

Paranoidku adalah bahwa anak-anak menjadi terlantar (secara pendidikan)....dan aku sangat tidak ingin itu terjadi...

Update 13 April 2011 08.30
Teman yang sedang koma itu, tadi malam akhirnya meninggal...semoga Almarhum mendapat tempat terbaik disisi_nya...

Komentar

  1. betul sekali mbak, saya juga memproteksi anak2 dengan asuransi

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Medeking

Seri Rumah Kecil - Laura Ingalls Wilder

Coba Atur Blog