12 Gaya Populer

Saya ingin berbagi sedikit hasil yang saya dapatkan dalam suatu pelatihan komunikasi orang tua pada bulan Juli 2007. Berhubung ada dua sub topik yang saling berhubungan maka saya bagi sharing saya ini dalam dua bagian juga. Semoga bermanfaat….

Tahun ajaran 2007/2008 saya mendaftarkan dua anak saya ke taman kanak-kanak. Anak pertama masuk ke TK A, sedangkan anak kedua di kelompok bermain. Pada saat membereskan urusan administrasi, saya diberitahu mengenai kewajiban orang tua murid untuk mengikuti pelatihan komunikasi. Alasan utama disebutkan bahwa agar pendidikan dan metode komunikasi yang diterapkan di rumah sama dengan yang diterapkan di TK tersebut. Jangan sampai apa yang diatur di sekolah tidak dilaksanakan di rumah sehingga hasil akhir yang diharapkan dari si murid menjadi tidak konsisten. Pertimbangan saya waktu itu sih karena wajib ya sudah saya laksanakan demi anak-anak saya (Tapi akhirnya, justru saya sangat bersyukur mengikuti pelatihan ini).

Pelatihan dilaksanakan 2 hari dari pukul 09.00 – 15.00, lumayan lama berarti saya harus izin atasan karena harus meninggalkan pekerjaan. Saya pikir sebagian besar rumah tangga Indonesia menyerahkan urusan sekolah anak-anaknya kepada Sang Ibu terutama ketika menghadapi pertemuan-pertemuan sekolah seperti ini. Dan tebakan saya benar bahwa sebagian besar peserta pelatihan adalah si Ibu, ada beberapa Bapak (kurang dari 5 termasuk 2 guru dari TK tersebut) dan ada juga satu pasangan yang datang.

Sesi pembukaan masih merupakan perkenalan dari pembicaranya. Namun dari cara sang pembicara mengenalkan diri dan materinya, saya tahu bahwa pelatihan ini akan menarik. Pembicara berasal dari Yayasan Kita & Buah Hati, yayasan yang mengkhususkan diri di bidang parenting, namanya Ibu Rani. Sebenarnya banyak pembicara dari yayasan tersebut, namun Ibu Rani lah yang menjadi favorit sehingga TK itu selalu minta Ibu Rani sebagai pembicara. Apa yang dipaparkan dalam pelatihan ini benar-benar membuat pikiran saya terbuka bahwa apa yang selama ini saya lakukan justru dapat mematikan perasaan anak (sehingga akhirnya saya meminta suami untuk bisa mengikuti pelatihan ini juga). Seharusnya kita dapat mengajari anak untuk dapat mengenali perasaan yang sedang dialaminya. Namun seringkali kita menjawab dan menerangkan dengan apa yang menjadi pikiran kita bukan berdasarkan sudut pandang si anak.

Pada dasarnya kebutuhan manuasia yang paling dalam adalah keinginan agar perasaannya didengar, diterima, dimengerti dan dihargai. Jadi dalam komunikasi, kita perlu meningkatkan kemampuan kita dalam mencoba memahami perasaan orang lain, apakah itu teman, pasangan hidup, rekan kerja, atasan, anak atau siapapun juga yang menjadi lawan bicara kita. Untuk anak-anak, seringkali mereka belum mampu untuk mengatakan apa yang mereka rasakan, bisa jadi karena perbendaharaan kata mereka yang belum banyak. Maka mereka akan menggunakan bahasa tubuh bahkan jauh ketika mereka belum pandai berbicara. Sebagai orang tua maka kita harus meningkatkan kepekaan kita dalam menangkap makna dibalik bahasa tubuh dan perasaan apa yang mendasari sehingga kita bisa memahami perasaan yang ingin disampaikan si anak. Rasa kurang percaya diri biasanya muncul karena kita “menidakkan perasaan” sehingga lawan bicara menjadi bingung, kesal, tidak mengenali perasaannya sendiri akhirnya tidak percaya pada perasaannya sendiri. Misalkan dialog dibawah ini:

Anak : “Ma, aku benci sama Bu Guru. Tadi aku dimarahi di depan kelas”

Mama : “Pasti kamu melakukan kesalahan makanya Bu Guru marah sama kamu. Tidak mungkin kan Bu Guru tiba-tiba marah”

Rasanya otomatis kita akan menyalahkan anak tanpa berusaha memahami lebih dahulu perasaan si anak dibalik kata-kata “benci” itu. Nah disinilah kami diterangkan mengenai 12 Gaya Populer yang biasa dilakukan orang tua ketika menghadapi anak. 12 gaya inilah yang merupakan penghalang bagi orang tua untuk dapat memahami si anak. Sebelum ada yang protes, tulisan ini selain dari ingatan saya juga sambil buka-buka lagi modul yang dulu diberikan.

12 Gaya Populer

1. Memerintah

Tujuan orang tua adalah untuk mengendalikan situasi dan menyelesaikan masalah dengan cepat, sedangkan pesan yang ditangkap anak adalah mereka harus patuh dan tidak punya pilihan

Anak:”Pa, aku engga mau berangkat sekolah”

Papa:”Apa-apaan sih, engga boleh malas ah. Pokoknya besok harus sekolah”.

2. Menyalahkan

Orang tua ingin menunjukkan kesalahan si anak, sedangkan tanggapan si anak adalah mereka tidak pernah benar/baik.

Anak: “Ma, kakiku luka nih…sakit sekali. Tadi habis jatuh..”

Mama: “Nah, kan? Dari tadi Mama bilang jangan lari-lari, makanya jatuh.. Ga pernah mau dengerin Mama sih

3. Meremehkan

Tujuan orang tua menunjukkan ketidakmampuan anak dan orang tua lebih tahu, anak menangkap bahwa dirinya tidak berharga/merasa tidak mampu

Anak:”Ayah, aku tidak bisa mewarnai gambar yang ini..”

Ayah: “Masa mewarnai begini saja ga bisa. Bisanya apa dong?”

4. Membandingkan

Orang tua ingin memberi motivasi dengan memberi contoh tentang orang lain, tapi anak menanggapi bahwa dia tidak disayang, pilih kasih dan merasa dirinya memang selalu jelek.

Anak:”Aku mau digosokin gigiku sama Bunda..”

Bunda : “ Iih, masak sudah besar masih dibantu..lihat adikmu sudah bisa gosok gigi sendiri”

5. Mencap

Maksud orang tua ingin memberitahu kekurangan agar anak berubah, anak menanggapi dengan merasa itulah saya

Anak: “Ayah, gendong Yah…aku ga mau jalan..dengkulku sakit nih”

Ayah : “Kamu ini memang anak cengeng, begini saja minta gendong. Jalan sendiri..!”

6. Mengancam

Orang tua melakukan agar anak menurut/patuh dengan cepat, tapi anak akan merasa cemas dan takut

Anak : “Bunda, tungguinbantuin aku pakai sepatu dulu..”

Bunda : “Pakai sendiri ah. Cepetan, ntar Bunda tinggal lo..Biar kamu pulang sendiri”

7. Menasehati

Maksudnya agar anak tahu mana yang baik dan mana yang buruk, namun anak menganggap bahwa orang tuanya sok tau, bawel dan membosankan

Anak: “Ma, tadi Rahma ngetawain aku..”

Mama: “Makanya kamu jangan suka ngetawain orang, kalau dibalas begitu baru tahu rasanya kan? Lain kali sama teman yang baik, jangan maumu sendiri”

8. Membohongi

Maksudnya agar urusan menjadi gampang, namun anak akan menilai bahwa orang dewasa tidak dapat dipercaya

Anak:”Ayah, kenapa sih kok bulannya cuma kelihatan setengah…?”

Ayah:”Iya, kan setengahnya dimakan Buto Ijo…..”

9. Menghibur

Tujuan orang tua adalah agar anak tidak sedih/kecewa, sehingga anak jadi senang dan tidak larut dalam kesedihan, namun anak akhirnya akan lupa dan melarikan diri dari masalah

Anak:”Pa, aku ngga mau temenan sama Ruri…dia suka nakalin aku…”

Papa:”Ya sudah…berteman sama yang lain saja. Kan masih banyak temen yang lain”

10. Mengkritik

Orang tua menginginkan agar anak memperbaiki kesalahan dan meningkatkan kemampuan diri, namun anak akan merasa bahwa dirinya selalu kurang dan salah

Anak:”Ayah, nih aku sudah selesai mewarnai..”

Ayah:”Masak begini dibilang selesai, coba lihat masih banyak yang belum diwarnai”

11. Menyindir

Memotivasi, mengingatkan agar tidak selalu melakukan seperti itu dengan cara menyatakan yang sebaliknya, anak akan menganggap hal ini menyakiti hati

Anak:”Aku ga mau minum vitaminnya..rasanya ga enak”

Ayah:”Ooo..kakak suka ya kalau sakit..vitamin kan membuat badan jadi ga gampang sakit..kalau ngga mau berarti kakak emang seneng sakit ya..”

12. Menganalisa

Orang tua ingin mencari penyebab positif/negative anak atau kesalahannya dan berupaya mencegah agar tidak melakukan kesalahan yang sama lagi, namun anak akan menganggap orang tua sok pintar

Anak:”Ayah, aku ngga mau belajar sepeda lagi..”

Ayah:”Itu karena cara belajarmu yang salah. Mestinya tanganmu jangan kaku dan pandangan harus ke depan. Kamu kan selalu melihat ke bawah. Terus rambutmu itu mestinya dikuncir biar kamu bisa leluasa bergerak ngga bingung aja sama rambut.”


Ketika mendengarkan penjelasan mengenai 12 gaya popular ini saya pun menjadi bingung, bukankan ini sudah wajar dilakukan? Kalau tidak boleh dilakukan lalu kita harus berbicara bagaimana agar anak menjadi mengerti apa yang baik dan benar? Saat itu saya benar-benar tidak habis pikir, namun Ibu Rani kembali menerangkan mengenai “penentuan masalah siapakah ini”. Dari penjelasan ini saya jadi paham bahwa benar 12 gaya tersebut merupakan penghalang dari komunikasi orang tua dan anak, terutama ketika anak dalam posisi labil (marah, sedih, jengkel, kecewa dsb) maka system limbic (penyimpan perasaan) dalam otak akan tertutup sehingga apapun yang dibicarakan orang lain tidak akan masuk dalam pemikiran anak. Jadi agar komunikasi berlanjut maka yang harus dilakukan adalah mendengarkan dengan hati, memperhatikan bahasa tubuh anak, memahami perasaannya dan menerima. Hal ini akan membuat anak merasa perasaannya penting dan perlu mendapat perhatian sehingga dia merasa nyaman yang membuat dia cenderung untuk berkomunikasi lebih lanjut.

Misalkan anak menangis menjerit-jerit tidak jelas apa yang diinginkan. Apabila kita bereaksi langsung dengan marah dan menyuruh dia diam, maka hal sebaliknya yang akan dia lakukan. Bahkan jika hukuman fisik diberikan, dia akan tetap menjerit-jerit. Tentu semua orang tua pernah mengalami ini, hal ini karena saat dia labil, system limbic-nya tertutup. Maka yang dapat kita lakukan adalah menunggu saat yang tepat ketika system limbic-nya terbuka, misalkan saat dia mengambil nafas, tentu tangisannya saat itu berkurang sehingga kita bisa merespon dengan “Kakak marah ya…?” Jika ini bukan perasaan yang dia rasakan tentu dia akan membetulkan sendiri…”Nggaaaa, kakak nggak marah…huhuhuhu” tangisannya masih berlanjut. Kita tunggu sampai dia menarik nafas lagi “oooo, kakak sedih ya?”

Disinilah pentingnya kita memahami bahasa tubuh anak, jadi kita bisa menebak suasana hati anak. Kalaupun kita salah menebaknya, anak akan memberikan petunjuk sampai kita bisa tahu apa yang sebenarnya dirasakan anak dan anak sendiri akhirnya mengenali perasaan apa yang dia rasakan.

Mungkin cara ini akan makan waktu lama, namun demi terjalin komunikasi antara anak dan orang tua maka tetap harus dilakukan. Bisa dibayangkan jika anak menangis menjerit-jerit di Mall, betapa malunya kita jadi tontonan orang lain. Biar saja ditonton orang, daripada kita melakukan 12 gaya popular di atas namun akibatnya masalah yang sebenarnya terjadi tidak terselesaikan. Bahkan mungkin anak akan diam hanya karena takut kepada kita. Selanjutnya mandeglah komunikasi antara orang tua dan anak. Anak akan mempelajari untuk menidakkan perasaannya daripada dia mendapat hukuman. Lalu akan terciptalah seorang anak yang kebal perasaannya dan siapa yang tahu apa yang akan terjadi pada orang yang tidak punya perasaan.

bersambung..........

Komentar

  1. Wah makasih Mbak sharingnya, astaghfirullahaladzhim...sungguh 12 gaya komunikasi itu sering mewarnai komunikasi saya dan anak-anak. Parahnya kadang2 itu dengan sadar saya lakukan hanya karena emosi saya sedang labil atau lelah....astaghfirullah...astaghfirullah...astaghfirullah
    Oiya...salam kenal!

    BalasHapus
  2. jeng dewi..mohon izin buat nge-link artikel ini ya..many thx before ^_^

    BalasHapus
  3. Setuju banget sama yang di atas..
    Thanx banget sharingnya Mba...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Medeking

Seri Rumah Kecil - Laura Ingalls Wilder

Coba Atur Blog