Facts About Me...(4)

Sungguh deh, olahraga adalah hal yang membuatku ciut. Aku sama sekali ga bisa olahraga. Sebut deh cabang olahraga apa, voli? basket? bulutangkis? tenis? NOL BESAR. Jangankan olahraga permainan seperti itu, olahraga yang tidak memerlukan lawan main aja aku ga bisa. Maksudnya gini, olahraga yang kusebut tadi kan selalu harus berpasangan atau tim jika dimainkan, nah olahraga yang hanya butuh diri sendiri saja aku juga ga bisa. atletik, sebangsa lompat jauh, lompat tinggi, lempar lembing? renang?.....berendam iya...lari-lari kecil iyalah....jalan sehat siy cukup jago....

Waktu kecil dulu, kakakku sering meledek bahwa badan tinggiku ini ga guna sama sekali. Kaki panjangku ga bisa membuatku jadi pelari. Tunggu....jangan dibayangkan bahwa aku ini tinggi sekali ya. Untuk teman-teman sebayaku yang sama-sama dari Banyuwangi, aku memang lebih tinggi dari mereka. Tapi dengan perbandingan, orang-orang dengan masa kecil yang gizinya seadanya maka tinggiku ini cukuplah.. Gizi seadanya ini misalkan telur sebutir dibagi empat...ayam seekor dibagi 16 (itupun hanya pas slametan..)...makan daging cukup kaldunya saja yang semangkuk...tapi dengan nasi sepiring penuh dan selalu nambah. Maka bisa dibayangkan, protein sebanyak itu akan membentuk manusia setinggi apa.

Tapi, memang aku lebih tinggi dari kakak dan orang tuaku dengan penampakan yang cukup signifikan. Di keluargaku, yang pada akhirnya lebih tinggi dari aku adalah adik laki-laki yang paling kecil.

Balik lagi ke masalah olah raga. Memang kebiasaan berolahraga mesti dibiasakan sedari kecil. Dengan Bapak yang sibuk dan ibu yang juga tidak peduli olahraga, maka olahraga bagiku adalah pelajaran di sekolah saja. Sepanjang nilai olahragaku baik-baik saja maka aku juga ga peduli dengan olahraga. Ditambah si bengek yang kadang-kadang muncul di usia kecil dan remajaku maka olahraga bukanlah favorit buatku.

Sekarang ini akibatnya, argueing dengan suamiku masalah keolahragaan ini. Suamiku yang olahragawan sejati, adalah kebalikan dari diriku ini. Bola? luar biasa jago, sampai gara-gara bola ini pula, suamiku hanya 3 tahun mengalami tugas kerja di luar Jawa karena langsung ditarik ke kantor pusat untuk ikut tim inti sepak bola. Padahal temen-teman lainnya minimal harus menunggu 5 tahun untuk bisa rolling tempat kerja...itupun belum tentu ke kantor pusat. Bisa jadi malah ke ujung Indonesia di kota yang terdiri dari dua kata kembar....(ini candaan kami karena sistem mutasi yang asal..maksudnya kota Fak-Fak, Toli-Toli..mmm..apalagi ya?).

Belum lagi olah raga lainnya. Tenis? Basket? Bulutangkis? pokoknya olahragawan asli deh.. Jadi ketika kami berdiskusi tentang bagaimana cara membuat anak bisa sportif dan menerima kekalahan dan kemenangan dengan baik tanpa berlebihan, maka menurut suamiku cara satu-satunya adalah mengenalkan olahraga pada mereka. Terutama olahraga permainan, jadi kami (aku dan suamiku) harus rajin-rajin ngajak anakku buat iseng-iseng main bulutangkis di depan rumah...terus nendang bola berpasangan...dan dibuat suasana kompetisi untuk bisa mendapatkan yang menang dan yang kalah.

Tanggapanku?...oo..tidak....aku akan mempermalukan diriku sndiri jika pegang raket di depan anak-anakku. Jadinya, aku malah berargumen bahwa tetap saja olahraga tidak selalu bisa mangajarkan anak untuk menerima kekalahan. Buktinya banyak yang melakukan doping agar bisa menang...steroid atau apalah...yang jelas semua hal dilakukan agar bisa MENANG. Sepak bola Itali malah diatur mafia skornya..sehingga jadi skandal memalukan... Jadi olahraga hanya mengajarkan anak untuk mencapai kemenangan saja...

Hey...disamping itu alasanku untuk menghindar dari kewajiban berolahraga oleh suamiku, kupikir memang benar demikian adanya. Kita cenderung hanya mengajarkan bagaimana mencapai kemenangan kepada anak kita...bagaimana agar bisa jadi yang terbaik...bagaimana bangganya kita jika sang anak BISA mencapai sesuatu. Jadinya sang anak pun akan berusaha membuat orangtuanya bangga dan tidak bisa mengatasi rasa kecewa ketika kalah.

Aku masih belum tau bagaimana membuat mereka bisa menerima kekalahan. Saat ini yang bisa kulakukan hanya menerima perasaan kecewa mereka, bukan malah cari kesalahan atau menasehati mereka. Mereka sedang kecewa, paling engga, akuilah kekecewaan mereka..mendengarkan apa yang mereka ceritakan dan menanggapi cerita mereka dengan cara sedemikian rupa sehingga mereka bisa mencari tau sendiri apa yang seharusnya mereka lakukan. Bukan kita yang memberitau apa yang harus mereka lakukan. Itu yang terbaik yang bisa kulakukan. Jika ada yang punya saran lain...feel free to tell me here...

Aku juga sadar, aku ga bisa melarikan diri dari olah raga ini demi anak-anakku. Tentu saja aku ga mau mereka menjadi aku yang ga bisa olahraga. Disamping itu, hasil cek up waktu itu dengan berbagai hal yang sudah melampaui ambang batas aman, aku memang harus berolahraga. Maka, aku menyetujui jadwal renang yang ditetapkan suamiku setiap jumat pulang kerja di Pasar Festival Kuningan. Walaupun aku sangat-sangat rikuh melihat cowok-cowok cantik sliweran disana...bahkan dengan memakai celana renang ala bikini.... Tapi mengingat disana kolamnya bersih dan tidak terlalu ramai, maka OK-OK saja bagiku mengajak anak-anak renang disana.

Juga tiap suamiku futsal senin dan rabu sore hari, aku juga melakukan olahraga yang cukup jago kulakukan yaitu jalan sehat. Kalau olahraga permainan, setidaknya aku bisa tendang-tendang bola sedikit sehingga 2 tim bisa terbentuk, walau ini masih jarang kami lakukan.

Pokoknya...untuk anak-anak yang lebih baik...apapun akan aku lakukan.....

Komentar

  1. Toss dengan ibu Dewi ...
    Saya juga paling tidak bisa berolah raga ...

    saat ini hanya bersepeda saja yang saya tekuni seminggu sekali

    Salam saya Bu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Medeking

Seri Rumah Kecil - Laura Ingalls Wilder

Coba Atur Blog