Laporan Akhir Semester Detya

Hari Sabtu minggu lalu adalah saat pembagian laporan akhir semesteran Detya dan Javas. Datang kesiangan dan melewati waktu yang dijatahkan, namun akhirnya bisa juga diskusi dengan wali kelas. Tetap saja merasa tidak puas, karena ga tega membuat antrian di belakang nunggu terlalu lama.

OK, buat Detya tentu saja ga jadi masalah kalau tidak bisa lama-lama. Detya ga pernah bermasalah baik dari segi perilaku maupun prestasi sekolah. Ya..hanya sedikit keluhan tentang gampangnya dia terpengaruh orang lain, tapi itu masih bisa diarahkan ke hal yang positif.

Satu hal yang menganggu perasaanku sendiri. Aku berusaha menanamkan, terutama pada diriku sendiri, bahwa prestasi akademik itu adalah nomer sekian dibandingkan perilaku anak-anakku. Tapi ternyata tidak bisa tidak, aku cukup terpengaruh ketika melihat peringkat di raport Detya. Kelas satu dulu dia selalu jadi peringkat pertama dan di kelas dua ini, dua kelas satu dulu digabung jadi satu sehingga wajar jika dia ga dapat peringkat satu lagi.

Inilah masalahku, sudah tau itu kondisinya...sudah meyakinkan diri sendiri juga bahwa masalah akademik bukan prioritas, tapi tetap saja meresa sedikit kecewa karena pada dasarnya nilai ujian akhir Detya adalah yang terbaik dikelasnya. Hanya karena Detya jarang mengerjakan PR-nya dengan tuntas, maka nilai Detya hanya terpaut satu angka dibanding peringkat pertama.

Sebenarnya, jika Detya tidak tuntas mengerjakan PRnya adalah karena kontribusi kami sendiri. Sebagai orangtua, kami tidak bisa memberikan waktu yang maksimum untuk anaknya. Aku memaksakan anak-anakku untuk mengikuti jadwal kerjaku dengan tujuan agar aku tidak kehilangan waktu dengan mereka. Aku masih bisa berdiskusi dan berkomunikasi dengan baik jika anak-anak mengikuti jadwalku.

Suamiku berulang kali menyinggung masalah ini, bahwa keputusan menyekolahkan anak-anak dekat dengan kantor lebih karena keinginan kami saja dibanding keinginan anak-anak. Bagaimana jika dipandang dari sudut pandang si anak sendiri? Nyamankah mereka jika harus mengikuti jadwal orangtua? Bagaimana dengan waktu bermain dan istirahat mereka? Waktu yang normal seperti anak-anak yang lain?

Pada akhirnya, Detya menjadi bermasalah dengan PR-PRnya. Dia tau bahwa PR itu tidak bisa dikerjakan di rumah. Di TPA saja dia langsung bermain untuk kemudian mandi dan siap menunggu kami menjemput. Sepanjang perjalanan di mobil ditengah-tengah kemacetan adalah saat kami bersenang-senang...bicara...bercanda...dan akhirnya tertidur menjelang tiba di rumah. Besok pagi-pagi sekali, dia harus bangun untuk bersiap berangkat sekolah. Lalu kapan dia bisa mengerjakan PR-nya? Dia menyadari kondisi ini sehingga dia selalu kerjakan tugas-tugasnya di sekolah sedapat mungkin sesuai waktu yang tersisa. Kalau ada 5 soal, dia cuma sempat kerjakan 3..jika ada 10 soal, dia cuma sempat kerjakan 7, karena dia juga harus ekskul dan pulang...gurunya pun juga harus segera pulang.

Parahnya...apa yang terjadi itu baru kuketahui ketika diskusi waktu ambil raport itu. Aku sendiri tidak pernah mengingatkan tentang PR-nya. Detya tidak pernah mengeluh tentang PR-PRnya, jadi kami ga pernah bicara masalah PR ini. Bagi Detya, sepanjang dia merasa tidak bermasalah atau masalah sudah diselesaikan, biasanya dia ga cerita. Kami biasanya hanya diskusi tentang apa-apa yang mengganjal di hatinya.

Hal yang membuatku sedih adalah..kenapa aku masih merasa kecewa...padahal akar permasalahannya justru ada dari kami sendiri?..Detya saja masih senyam-senyum dengan pencapaian dia..lalu kenapa aku yang kecewa?..

Ternyata memang susah untuk tidak melihat pencapaian akademis sebagai hal yang paling utama... Aku masih harus belajar lebih banyak lagi untuk menjadi orang tua yang baik...dan selalu berpikir positif...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Medeking

Seri Rumah Kecil - Laura Ingalls Wilder

Coba Atur Blog