Ibu dan Hemodialisa

Ibuku sudah mengidap diabetes sejak tahun 2000 lalu.  Diawali dengan gula darah di atas 400 dan harus rawat inap, selanjutnya rutin dua kali setahun Ibu harus dirawat karena kadar gulanya tinggi.

Momen kadar darah meningkat itu bisa diprediksi, setiap selesai Hari Raya Idul Fitri dan setelah Maulid Nabi.  Pokoknya ga jauh-jauh dari dua hari besar itu.  Bisa dibayangkan kan kenapa? Karena saat itu, kami semua tidak bisa mengontrol asupan makan Ibu.  Di Banyuwangi, kalau Maulid Nabi tiba, ada perayaan yang cukup ramai, dan tiap masjid berbeda-beda waktu perayaannya.  Jadi makanan melimpah ruah dan akhirnya kadar gula Ibu meningkat....dan harus rawat inap.

Demikian rutin setiap tahun dengan pola yang sama. Itu untuk yang rawat inap, kalau kondisi lemas atau luka yang sulit sembuh, itu seringkali terjadi.  Ibuku bukan termasuk orang yang disiplin, seberapa keras kami berusaha mengingatkan dan mengontrol makanan Ibu, masih sering juga kami melihat bungkusan plastik Extr* Jo**, Marim*s, Nutr* Sari*, atau minuman-minuman lain sejenisnya ada di tas Ibu dalam keadaan yang sudah kosong.  Kami hanya bisa tarik nafas dalam-dalam jika sudah seperti itu.

Sampai tahun 2014...

Dari awal tahun, Ibu mengeluh tentang kakinya yang membengkak sehingga sulit untuk berjalan.  Kemudian, sesuai kebiasaan tahunan, setelah Idul Fitri Ibu rawat inap.  Sampai akhirnya pulang ke rumah setelah 10 hari rawat inap, tidak ada perkembangan yang berarti.  Maksudnya kadar gula sudah normal, tapi bengkak di kaki tidak berkurang.  Bahkan beberapa minggu kemudian bengkak itu sudah bertambah di perut, dada dan muka.  Rawat inap lagi, pulang lagi tapi tetap tidak ada perubahan.  Rupanya bagian tubuh yang bengkak itu disebabkan ginjal yang tidak dapat menyaring darah dengan sempurna.

Untuk  kesehatan, Bapakku mendapat asuransi dari pensiunan salah satu Bank BUMN dengan batasan hanya untuk rawat inap dan maksimal 25 hari. Nah, batasan itu sudah habis, lalu Bapak berinisiatif untuk mendaftarkan Ibu ke BPJS Kesehatan.  Bedanya, BPJS Kesehatan tidak membatasi jumlah hari, tapi membatasi rumah sakit yang bekerja sama.  RS tempat biasanya Ibu dirawat, tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan sehingga akhirnya Ibu harus ke RSUD.

Nah, setelah pindah ke RSUD penanganan terhadap penumpukan cairan semakin intensif.  hanya saja, Ibuku bosan rawat inap terus menerus, sehingga jika kondisi lumayan baik. Ibu minta pulang.  Sebulan di rumah, ternyata harus rawat inap lagi dan berdasarkan rekomendasi teman, akhirnya ganti dokter.  Dan penanganan rawat inap itu cukup berbeda sehingga setelah 10 hari bisa pulang.  Tapi Ibu masih lemas dan ga punya tenaga sendiri untuk beraktifitas.  Sampai minggu kedua Desember kemarin, tiba-tiba Ibu ga sadar sama sekali dan langsung dibawa ke RSUD.  Ternyata kadar gula Ibu turun sampai 35 saja, sehingga setelah diinfus cairan gula Ibu bisa sadar lagi.  Setelah dua hari dan diskusi dengan tim dokter, disarankan agar Ibu melakukan prosedur Hemodialisa atau bahasa kerennya...Cuci Darah.

Okay, kami cukup banyak browsing tentang prosedur ini sampai akhirnya semua sepakat bahwa Ibu memang perlu cuci darah.

Okay, waktu itu dokter masih belum bisa memutuskan apakah HD ini permanen atau temporer saja.

Okay, akhirnya setelah 3x HD dengan selang masing-masing 3 hari, akhirnya Ibu boleh pulang.

Daaaan...okay bahwa ternyata Ibu harus rutin HD seminggu sekali sampai saat ini.

Sisi positifnya...Alhamdulillah Ibu sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya yang ga bisa beraktivitas sama sekali.  Bagi kami semua, dengan kondisi saat ini kami sudah sangat-sangat bersyukur.  Kami juga sangat bersyukur bahwa BPJS menanggung semua biaya untuk HD ini.

Sampai saat ini aku masih browsing kesana-kemari berkaca dari pengalaman orang lain yang harus HD atau merawat orang yang harus HD.

Semoga Allah senantiasa memberikan yang terbaik untuk kedua orang tua kami.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Medeking

Seri Rumah Kecil - Laura Ingalls Wilder

Coba Atur Blog